“Ngalap Berkah” Pengarang Buku
Oleh : ‘Azzah Nurin Taufiqotuzzahro’
Suatu ketika saya pernah terlibat obrolan dengan teman
sekelas yang membeli buku non-original (bajakan). Ketika ditanyakan alasan
membeli buku tersebut, lebih mengarah pada harga yang hemat di kantong dan
kebutuhan isi, bukan fisik. Saya sendiri penyuka buku dan sebisa mungkin lebih
memilih untuk membeli yang asli. Selain memiliki kepuasan tersendiri dengan
adanya buku original, alasan saya cukup sederhana, yakni ingin ‘ngalap berkah’
dan mendapatkan ridho penulis. Buku ditulis oleh seorang yang memiliki
kapasitas ilmu yang lebih, sehingga tugas sebagai penikmat buku membeli buku
tersebut untuk menyerap ilmu darinya. Ketika buku tersebut dicetak ulang tanpa
sepengetahuan penulis, bisa jadi penulis tidak ridho sehingga dikhawatirkan
ilmu yang diserap tidak bermanfaat. Di sisi lain, terdapat beberapa buku yang
tidak cetak ulang kembali. Sehingga ketika buku tersebut diperlukan, alangkah
baiknya untuk kembali mencetak dengan persetujuan penulis. Perlu diingat bahwa
orang Indonesia, terlebih Jawa memiliki unggah ungguh dalam segala hal.
Begitu pun dengan perihal kepemilikan.
Pembajakan buku merupakan suatu kejahatan yang berlindung
di balik sisi ‘positif’ berupa perluasan buku sebagai wawasan ilmu pengetahuan.
Pembajakan buku dilakukan oleh mereka yang menggandakan buku guna
diperjualbelikan kembali untuk meraup keuntungan pribadi. Mereka memanfaatkan
lingkungan pelajar yang notabene-nya ‘kantong pas-pas an’, sehingga
berinisiatif menyediakan buku yang jauh lebih murah ketimbang buku aslinya.
Beruntungnya para konsumen ini tetap membeli buku tersebut. Kesalahan tersebut
ada pada orang yang mengcopy buku dan memperjualbelikan kembali. Konsumen hanya
sebagai pihak pendukung yang tanpa mereka
sadari telah membantu ‘mencederai’ industri
perbukuan legal.
Berbicara mengenai pembajakan buku, suatu hak yang sudah
termasuk dalam persoalan krusial hingga saat ini, terlebih di Indonesia. Hal
ini sering diabaikan dan terkesan ‘bodo amat’ terhadap pelanggaran tersebut
meski sudah diperingatkan oleh pihak penerbit. Pelanggaran ini terbilang
permisif karena pelanggaran ini semakin marak tanpa adanya tindakan yang tegas
dan lebih lanjut. Seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir dengan diberitakannya bazaar di suatu daerah yang memperjual belikan buku cetakan Mizan.
Akan tetapi, pihak penerbit menyangkal bahwa mereka bekerjasama dengan pihak
bazaar tersebut. Kejadian ini menandakan adanya ‘kriminalisasi’ dalam
penyebaran buku bajakan yang belum pernah usai. Hal ini jelas sekali sangat merugikan
penulis, penerbit, bahkan pembeli sekalipun. Hal serupa juga dilakukan oleh
beberapa pihak dengan memanfaatkan media sosial melalui aplikasi jual beli
(seperti shopee, buka lapak dan lain-lain) tanpa mengindahkan buku tersebut
asli maupun bajakan. Biasanya buku-buku tersebut dapat ditemukan di sentra
penjualan buku pada kota-kota besar, seprti Yogyakarta, Malang, Jakarta,
Surabaya. Fenomena ini menjadi momok serius dalam industri perbukuan. Secara
tidak langsung, pembajakan buku ini telah ‘mengolok’ industri perbukuna legal.
Dalam industri perbukuan, penerbitan sebuah buku harus
melewati berbagai tahap yang pastinya melibatkan banyak pihak, seperti penulis,
editor, tata naskah. Secara implisit, pembajakan buku tidak hanya mencuri hak
kekayaan intelektual penulis namun juga berbagai pihak yang berkaitan dengan
buku tersebut. Setidaknya harus ada tindakan tegas bagi pelanggar hak cipta dan
hak intelektual dalam dunia perbukuan. Namun pada kenyataannya, meski telah
dicantumkan Undang-Undang hak cipta dalam terbitan buku tersebut, seolah hanya
menjadi ‘angin lalu’ bagi para pembajak buku tanpa mengindahkan peringatan
tersebut.
Mahalnya buku yang dicetak menjadi salah satu faktor
konsumen untuk lebih memilih buku bajakan. Oleh karena itu, para penulis dan
penerbit biasanya mengadakan PO (Pre-Order) dengan mematok harga lebih
rendah dari harga cetaknya nanti. Hal ini bisa menjadi salah satu alternatif
adanya pembajakan buku dan pemasaran buku non-original. Selain itu, perlu juga
dilakukan edukasi terhadap konsumen mengenai pemberhentian dan menghindari membeli
buku bajakan. Secara logika, konsumen yang membeli buku original, akan
menyurutkan para produsen buku bajakan karena tidak laku. Efeknya dapat berupa
ketiadaan buku bajakan di pasaran, meski tidak 100 % berhasil. Namun hal ini
dapat menjadi alternatif lain dalam memberantas buku bajakan. Sebagai konsumen,
sudah selayaknya untuk menghargai jerih payah penulis dalam menyalurkan wawasan
keilmuan. Oleh karena itu, mulai dari diri sendiri untuk mengatakan ‘tidak’
pada buku bajakan.