Minggu, 03 Januari 2016

PENAFSIRAN IHSĀN DALAM AL QUR’AN



PENAFSIRAN IHSĀN DALAM AL QUR’AN

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Ayat Sosial Kemasyarakatan

Dosen Pengampu :
Abdullah Mubarak, Lc


Oleh :
Amilatus Sa’adah
NIM: 2012. 01. 01. 070
‘Azzah Nurin Taufiqotuzzahro’
NIM: 2012. 01. 01. 058


PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2014

PENAFSIRAN IHSĀN DALAM AL QUR’AN

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Ayat Sosial Kemasyarakatan

Dosen Pengampu :
Abdullah Mubarak, Lc


Oleh :
Amilatus Sa’adah
NIM: 2012. 01. 01. 070
‘Azzah Nurin Taufiqotuzzahro’
NIM: 2012. 01. 01. 058


PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2014


PENAFSIRAN IHSĀN DALAM AL QUR’AN
Oleh :
1.          Amilatus Sa’adah
2.          ‘Azzah Nurin Taufiqotuzzahro’

I.       Pendahuluan
Al Qur’an adalah mu’jizat Islam yang kekal yang selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al Qur’an diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju suasana yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Kandungan al Qur’an mencakup berbagai macam aspek kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat, seperti keanekaragaman sifat yang dimiliki oleh manusia, adakalanya baik dan buruk. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa al Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan, seperti halnya ihsān.
Seringkali manusia tidak memahami apakah ia sedang melakukan ihsān, al khoir, al birr, atau al ma’ruf. Mereka lebih mangacuhkan apa yang mereka perbuat. Melainkan mereka hanya berfikir bahwa telah berbuat baik terhadap sesame tanpa tahu apakah mereka berbuat ihsān maupun yang lain. Namun, dalam makalah ini lebih ditekankan dalam memhas ihsān.
Dalam realita kehidupan, sifat ihsān sangat diperlukan karena manusia merupakan makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Pengaplikasian ihsān dapat dilakukan seperti halnya ketika anak harus berbuat baik kepada orang tua atau seseorang yang harus berbuat baik kepada orang lain dalam lingkup tidak melanggar syariat. Hal tersebut menjadi sorotan dalam berkehidupan dikarenakan sikap tersebut mempengaruhi keribadian seseorang. Ketika seseorang telah melaksanakannya, maka banyak hal yang akan didapat oleh seseorang tersebut, baik balasan itu dari sesame manusia maupun Allah. Allah juga telah menjanjikan balasan bagi orang yang berbuat ihsān, baik balasan berupa di dunia maupun di akhirat. Maka, ini menjadi penting untuk dikaji, karena untuk mengaplikasikan sifat ihsān itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam makalah ini, akan dibahas tentang pengertian ihsān, penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat, serta balasan bagi orang yang berbuat ihsān
II.    Pengertian Ihsān dalam Al Qur’an
A.  Definisi Ihsān
Al khoir, al birr, al ma’ruf, dan ihsān adalah kata berbahasa arab yang mempunyai makna yang sama yaitu baik atau kebaikan. Al birr adalah pecahan dari al barr yang memiliki arti kelapangan dalam mengerjakan kebaikan. Dengan demikian kata al birr mencakup dua arti, pertama pekerjaan hati seperti keyakinan serta niat yang suci. Kedua, pekerjaan anggota badan seperti ibadah kepada Allahdan berinfaq. Al ma’ruf adalah suatu yang dikenali baik (kebaikan) banyak yang mengartikan bahwa al ma’ruf adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh umat muslim, seperti, bersedekah, beribadah, beramal, dan sebagainya. Sedangkan al khair mempunyai arti kebaikan. Lebih tepatnya perbuatan baik. Perbuatan yang selalu mendatangkan berkah dan kesenangan bagi orang yang sedang membutuhkan dan bertujuan untuk mendapatkan rahmat dan ridla Allah.[1]
Sementara kata Ihsān (إحسان ) adalah isim masdar dari kata  يحسن  أحسن  yang bermakna kebaikan. Sedangkan lawan kata dari ihsān adalah isa’ah yang berarti keburukan.[2] Kata ihsān dalam al Qur’an tertulis dalam 165 ayat.[3] Ihsān dalam al Qur’an adalah sebuah perbuatan yang melampaui kebiasaan pada umumnya, ia dapat berbentuk perilaku ataupun perbuatan. Mengenai hal ini Allah berfirman  surat al Isra’ ayat 7 yang berbunyi:
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا [١٧:٧][4]
                 jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. al Isra’ : 7)
Redaksi ayat ini menunjukkan kecenderungan manusia kepada kebaikan yang diawali dengan berbuat baik kepada diri sendiri. Hal tersebut juga dijelaskan al Suyuthi dalam Tafsir al Jalalain, yakni perbuatan baik yang dilakukan akan berbalik kepada diri sendiri. Begitu juga sebaliknya, perbuatan buruk yang dikerjakan juga akan berbalik pada diri sendiri.[5]
Al Quran mengungkapkan perbuatan ihsān dalam berbagai macam bentuk misalnya dengan menggunakan kata “إحسانsebagaimana terdapat dalam surat an Nahl ayat 90 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [١٦:٩٠][6]
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an Nahl : 90 )
Ayat ini termasuk ayat yang sangat luas dalam pengertiannya. Dalam suatu riwayat dari Rasulullah S̩alla Allah 'Alaihy  wa Sallam yang dikeluarkan oleh Bukhari, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Thabrani, dan Baihaqi dari Ibnu Mas’ud menyatakan:
واجمع اية في كتاب الله للخير والشر الاية التى في النحل ان الله يامر بالعدل والاحسان[7]
Dan ayat yang paling luas lingkupannya dalam al Qur’an tentang kebaikan dan kejahatan ialah ayat dalam surat An-Nahl yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya tiga perkara, yaitu berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi sedekah kepada kerabat dan melarang melakukan tiga perkara yaitu berbuat keji, munkar, dan permusuhan.
Yang dimaksud berbuat kebajikan atau ihsān ini ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang mendatangkan manfaat bagi orang lain dan menghindarkan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan madharat bagi mereka. Membalas perbuatan baik orang lain dengan yang lebih baik, memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat kesalahan termasuk perbuatan ihsān.
Perbuatan ihsān ini merupakan perwujudan dan sikap manusia yang menyadari akan eksistensinya sebagai makhluk sosial. Hal ini berarti bahwa manusia disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa memerlukan bantuan dan pertolongan orang lain. Karena itulah, Allah menyuruh kepada manusia agar mereka menjalin hubungan baik, saling menghormati, membantu dan berbuat kebajikan, sekaligus melarang melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menimbulkan ke-madharat-an bagi sesama manusia.
Dalam konteks ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa definisi adil dalam ayat tersebut adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsān menempatkannya bukan pada tempatnya. Dengan kata lain, ihsān adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Sikap ihsan dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama dari pada kedermawanan atau ihsān. Pengertian berbuat kebajikan tersebut dibangun dari kutipan M. Quraish Shihab terhadap pernyataan Ali bin Abī Thālib.[8]
B.  Penerapan Ihsān dalam Kehidupan Bermasyarakat
Ihsān dalam penerapannya telah dipaparkan dalam al Qur’an, salah satunya surat an Nahl ayat 90. Ayat tersebut terdapat perintah untuk ihsān terhadap kerabat terdekat. Hal ini juga dijelaskan dalam surat an Nisa’ ayat 36.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا[9]
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. an Nisa’ : 36)
                                                                                                                   
Wahbah al Zuhaily menguraikan secara jelas bahwa ihsān kepada orang tua meliputi berbuat baik kepada keduanya dan berkhidmat serta mengikuti permintaan mereka sesuai dengan kemampuan. Termasuk dalam kategori ini adalah bersikap lemah lembut dalam perangai dan tutur kata terhadap keduanya.[10]
Perintah untuk berbuat kebajikan (ihsān) kepada kedua orang tua dilandasi beberapa alasan. Di antara alasan dimaksud adalah fakta bahwa kedua orang tua telah berjasa besar dalam membesarkan dan memelihara anaknya, sebagaimana difahami dari penjelasan ayat juga dalam dan QS. Luqmān (31) : 14-15;
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)[11]
dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu. (14) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(15) (QS. Luqman : 14-15)
Perintah untuk berbuat ihsān kepada kedua orang tua pada dua ayat terdahulu mengisyaratkan kepada lawan bicara bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah keniscayaan mengingat peran dan penderitaan orang tua dalam mengasuh anaknya. Latar belakang inilah yang kemudian menjadi penekanan kepada sang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua mereka.
Tahap selanjutnya, diisyaratkan kepada sang anak untuk memperhatikan batas-batas ketaatan yang dimaksud dengan informasi bahwa kesemua itu hanya pada aspek yang tidak mengarah kepada pemusyrikan. Al Qur’an secara apik mendeskripsikan kepada lawan bicara bahwa ada masa tertentu sang anak akan berhadapan dengan kondisi dimana ia diminta secara tegas untuk memilih, taat kepada kedua orang tua pada satu sisi dan tidak memusyrikkan Allah pada sisi lain. Untuk kondisi yang sedemikian itu, al Qur’an mempertegas bahwa hanyalah kepada Allah semata ketaatan itu dan tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 14-15.
     Meski pada redaksional ayat, QS. Luqmān: 14-15 dan QS. al Ankabūt mengedapankan perintah berbuat ihsān kepada kedua orang tua. Kongklusi ini ditarik berdasarkan pengertian bahwa inti pembicaan pada keseluruhan ayat mengisyaratkan manusia untuk tidak mempersekutukan Tuhannya dengan dasar apapun, bahkan dalam keadaan lawan bicara tidak mengetahui dasarnya. Untuk kondisi yang sedemikian itu, al Qur’an mempertegas bahwa hanyalah kepada Allah semata ketaatan itu dan tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang dikemukakan oleh al Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al Kasyf bahwa ketaatan kepada orang tua terbatasi dengan perintah mempersekutukan Allah.[12]
Ihsān juga digambarkan dalam bentukحسنا  sebagaimana lanjutan ayat bahwa perbuatan ihsān yang diarahkan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin harus pula diiringi dengan mengucapkan perkataan baik kepada manusia.
Dalam redaksional surat QS. al Ankabūt ayat 8 menjelaskan bahwa manusia telah diwajibkan untuk berbuat ihsān kepada kedua orang tua. Perbuatan ini kemudian dibatasi dengan bentuk dispensasi bahwa taat dan patuh yang dijadikan dasar untuk berbuat ihsān kepada kedua orang tua tidak dalam hal memperserikatkan Allah dengan lainnya. Keadaan ini berlaku pada kondisi lawan bicara itu tahu atau tidak. Lengkapnya ayat tersebut sebagai berikut ;
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (8)[13]
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. al Ankabut : 8)

C.  Balasan Bagi Orang-Orang yang Berbuat Ihsān
Orang yang senantiasa berbuat ihsān akan mendapat kedekatan bersama Allah, kecintaan dari Allah, pahala yang berlipat, balasan surga serta kenikmatan melihat wajah Allah.
Balasan yang akan diterima oleh orang yang senantiasa berbuat ihsān, di antaranya :

1.    Mendapatkan kedekatan bersama Allah.
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ [١٦:١٢٨][14]
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. An Nahl: 128)

Dalam Tafsir al Jalalain, al Suyuthi menjelaskan bahwa Allah akan menolong orang-orang yang takut akan kekafiran dan kemaksiatan dengan pertolongannya.[15]


2.    Mendapatkan kecintaan dari Allah
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [٢:١٩٥][16]
dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Baqarah : 195)

Al Suyuthi menjelaskan kembali dalam tafsirnya, al Jalalain bahwa Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah.[17]

3.      Mendapatkan surga, pelipat gandaan amalan, dan melihat wajah Allah.
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [١٠:٢٦][18]
bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. (QS. Yunus : 26)

III. Kesimpulan
Secara bahasa, kata ihsān sama artinya dengan kata al khoir, al birr, dan al ma’ruf, yang kesemuanya itu bermakna kebaikan. Tetapi, ihsān secara istilah lebih luas dalam pengertiannya. Dalam al Qur’an, kata ihsān disebutkan ke dalam 165 ayat. Ihsān adalah sebuah perbuatan yang melampaui kebiasaan pada umumnya, ia dapat berbentuk perilaku ataupun perbuatan. Banyak redaksi ayat-ayat dalam al Qur’an yang menjelaskan tentang ihsān dan penerapannya dalam kebidupan bermasyarakat. Salah satu contoh perbuatan ihsān adalah berbuat baik terhadap kedua orang tua yang telah tertulis dalam al Qur’an surat al Ankabut ayat 8.


Daftar Pustaka
Al Qur’an
Abady, Muhammad bin Ya’qub Fairuz. Qamus al Muhith. ttp: tnp, tth
Eni, Handi. Perbedaan al khoir, al birr, al ma’ruf, dan ihsān”, dalam http://handienioke.blogspot.com, (diakses pada 16 November 2014)
Fathullah, Ahmad Luthfi. al Qur’an al Hadi 11 Kemudahan Berinteraksi dengan al Qur’an. Jakarta: Pusat Kajian Hadits, tth.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Pustaka Mizan, 2013.
Suyuthi (al), Jalal al Din. Tafsir al Jalalain. Surabaya: al Haramain, 2008.
Zamakhsyari (al), Abu al Qasim. al Kasyf. Beirut: Dar al Kitab al ‘Araby, 1407 H.
Zuhaily (al), Wahbah bin Musthafa. al Tafsir al Munir fi al ‘Akidah wa al Syari’at wa al Manhaj. Damaskus: Dar al Fikr, 1418 H.


[1]Handi Eni, Perbedaan al khoir, al birr, al ma’ruf, dan ihsān, dalam http://handienioke.blogspot.com, (diakses pada 16 November 2014)
[2] Muhammad bin Ya’qub Fairuz Abady, Qamus al Muhith, (ttp: tnp, tth), 1: 1535.
[3] Ahmad Luthfi Fathullah, al Qur’an al Hadi 11 Kemudahan Berinteraksi dengan al Qur’an, (Jakarta: Pusat Kajian Hadits, tth).
[4] Al Qur’an, 17:7.
[5] Jalal al Din al Suyuthi, Tafsir al Jalalain, (Surabaya: al Haramain, 2008), 228.
[6] Al Qur’an, 16:90.
[7] Wahbah bin Musthafa al Zuhaily, al Tafsir al Munir fi al ‘Akidah wa al Syari’at wa al Manhaj, (Damaskus: Dar al Fikr, 1418 H), 14: 216.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Pustaka Mizan, 2013), 166.
[9] Al Qur’an, 4:36.
[10] Wahbah bin Musthafa al Zuhaily, al Tafsir al Munir fi al ‘Akidah wa al Syari’at wa al Manhaj, 63.
[11] Al Qur’an, 31:14-15.
[12] Abu al Qasim al Zamakhsyari, al Kasyf, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Araby, 1407 H), 191.
[13] Al Qur’an, 29:8.
[14] Al Qur’an, 16:128.
[15] Jalal al Din al Suyuthi, Tafsir al Jalalain, 226.
[16] Al Qur’an, 2:195.
[17] Jalal al Din al Suyuthi, Tafsir al Jalalain, 18.
[18] Al Qur’an, 10:26.