Kamis, 24 Mei 2018

Cara menjadi Pengajar (Guru) yang Baik


Oleh : 'Azzah Nurin Taufiqotuzzahro'

"Kesuksesan seorang Guru diukur dari bagaimana ia mampu mendidik muridnya dengan baik"


Guru merupakan seorang yang mengajarkan ilmu yang telah ia terima kepada muridnya. Seorang guru selalu menjadi panutan oleh muridnya. Bagaimana tingkah laku muridnya, hal itulah menjadi cerminan seperti apa gurunya. Lalu bagaimana cara menjadi guru yang baik? Kitab at-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an membahas hal tersebut dalam bab اداب معلم القرأن و متعلمه (Adab Belajar al-Qur’an dan Mengajarkannya) dengan uraian sebagai berikut:
1.      Tawadu’
Seorang guru harus memiliki sifat lemah lembut dan tawadu’ dalam mengajar. Setiap manusia pasti melalui yang namanya masa belajar, baik itu di sekolah maupun pondok pesantren. Setelah mereka menuntut ilmu dan kembali ke daerah masing-masing, diharapkan dapat mengajarkannya kembali ilmu yang telah didapatkan. Meski begitu, mereka harus memiliki sikap dalam menyalurkan ilmu. Sikap tawadu’, lemah lembut, dan tidak sombong menjadi bekal untuk menyalurkan ilmu yang didapatkan. Bersikap sombong tidak dibenarkan dalam agama Islam, terlebih kepada sang murid. Mengapa demikian? Karena kedudukan murid adalah seorang anak yang lebih diutamakan daripada kesibukan duniawi.
2.      Mendidik etika dengan cara bertahap
Seorang siswa harus dididik secara bertahap dalam hal etika. Etika tidak hanya sebuah teori saja, namun harus disertai dengan praktiknya juga. Teori tanpa praktik sama saja dengan pincang, sedangkan praktik tanpa teori sama dengan hancur. Keduanya harus dilakukan bersama. Adapun pengaplikasian teori tentang etika, diharapkan dapat diterapkan sejak dini. Mengapa?? Hal tersebut agar menjadi kebiasaan yng baik bagi anak. Dari sini, etika menjadi inheren dalam dirinya. Jadi, apabila ketika ia sudah terbiasa beretika dan suatu ketika sikapnya salah, maka ia akan langsung tersadar dan membenahinya.
3.      Mengajarkan untuk mengolah jiwa dengan baik
Sang pengajar tidak hanya mengajarkan bagaimana beretika dengan baik, tapi juga mengajarkan bagaimana mengolah jiwa dengan baik. Jiwa perlu dilatih untuk memanajemen diri dalam mengontrol segala sesuatu. Semisal contoh bagaimana seorang anak bisa mengontrol emosinya dengan baik. Di saat ia marah, maka ia akan meredam emosinya dan tidak mejadi marah lagi. Hal ini sangat diperlukan, bukan hanya bagi seorang anak/ murid tapi berlaku pula bagi pengajar.
4.      Mengajarkan untuk bersifat jujur dan ikhlas
Seorang pengajar selalu menjadi panutan muridnya. Sebagai seorang pengajar hendaklah bersifat jujur, ikhlas, berniat dengan benar dan merasa selalu diawasi oleh Allah setiap waktu. Hal tersebut hendaklah pula diajarkan kepada sang murid. Ketika poin-poin tersebut telah diterapkan dalam diri pelajar, maka Allah akan memberikan anugrah kepadanya berupa cahaya-cahaya ma’rifat. Cahaya ma’rifat ini akan bersunber dalam hati. Cahaya ma’rifat ini memudahkan pelajar dalam mencari ilmu. Semisal contoh para ulama yang menulis kitab dalam waktu singkat. Secara logika tidak memungkinkan untuk menulis kitab dengan beribu lembar dalam beberapa waktu kecuali memang Allah memberikan cahaya ma’rifat ke dalam hatinya sehingga ia mendapatkan hikmah untuk menulis karyanya yang banyak.
Uraian di atas menjelaskan bagaimana menjadi pengajar yang baik. Setelah menjadi pengajar yang baik, lalu bagaimana prinsip daripada orang yang berilmu?
  • Seorang yang berilmu, hukumnya fardu kifayah dalam mengajarkan kembali ilmu yang telah didapatkannya. Namun hukum kewajiban tersebut menjadi gugur ketika sudah ada orang lain yang bisa mengajarkan ilmu tersebut. Semisal contoh dalam masyarakat tertentu belun ada yang mengajarkan ilmu agama di dalam kampungnya, maka orang A yang berilmu tersebut wajib hukumnya mengajari masyarakat di kampung tersebut. Berbeda apabila dalam kampung tersebut sudah ada orang B yang mengajarkan ilmu, maka kewajiban orang A menjadi gugur/ sunah.
  • Ketika kewajiban mengajar menjadi sunah, maka jadilah pengajar yang tidak pelit dalam berbagi ilmu. Apabila ada seorang yang meminta untuk diajarkan sebuah ilmu, maka ajari dia dengan baik karena kesuksesan seoarang pengajar diukur dari bagaimana dia mampu mendidik muridnya dengan baik.
  • Seorang pengajar juga harus memerintahkan murid untuk menjaga hafalan yang telah dihafalkan agar tidak hilang begitu saja
  • Apabila pengajar memiliki banyak murid, hendaknya ia mendahulukan murid yang datang lebih awal. Pengajar boleh saja mendahulukan murid yang datang dipertengahan maupun di akhir dengan syarat murid yang pertama kali datang mengijinkan murid yang datang selanjutnya untuk lebih dulu belajar kepada guru tersebut.
  • Seorang pengajar berseri-seri wajahnya dalam mengajar. Segala permasalahan di luar ranah kelas, maka harus dihilangkan terlebih dahulu.
  • Seorang pengajar harus pula perhatian dengan sang murid. Dalam arti ketika sang murid tidak masuk sekolah, maka tanyakan alasannya kepada temannya. Selain itu juga pengajar bisa pula menanyakan bagaimana kabar sang murid. Hal ini dapat menjadi suatu suntikan semangat dalam menerima pelajaran.
  • Ketika seorang pengjar menemukan seorang murid yang belajar dengan niat yang salah, maka pengajar hanya menuruti saja kemauan sang murid. Mengapa demikian?? Banyak asumsi bahwa setelah proses pelajaran berlangsung lambat laun murid tersebut akan mengerti bahwa belajar itu bukan karena apa-apa melainkan karena Allah semata.
  • Niat belajar itu sebenarnya untuk menghilangkan kebodohan dalam diri. Orang belajar itu untuk memperbaiki diri, perspektif hati, dan belajar berakidah yang benar. Tujuan daripada menuntut ilmu bukanlah menjadi ijasah melainkan menjadikan diri lebih baik, mengabdikan diri kepada sesama dan patuh kepada Allah.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin


 Sumber : Kitab at-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an hal. 28-29

2 komentar: