Minggu, 03 Januari 2016

TAFSIR AL-IBRĪZ LIMA’RIFATI TAFSĪR AL-QUR’AN AL- ‘AZĪZ KARYA BISHRĪ MUṢṬOFĀ


TAFSIR AL-IBRĪZ LIMA’RIFATI TAFSĪR AL-QUR’AN AL- ‘AZĪZ KARYA BISHRĪ MUṢṬOFĀ
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Tafsir di Indonesia
DosenPengampu:
Moh. Ashif, MUd


Oleh:
Azzah Nurin Taufiqotuz Zahro’
Durrotul Munimah
Shoimatul Iffah
Siti Rohmatun Ni’mah
PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2015


TAFSIR AL-IBRĪZ LI MA’RIFATI TAFSĪR AL-QUR’AN AL- ‘AZĪZ KARYA BISHRĪ MUṢṬOFĀ
Oleh:
Azzah Nurin Taufiqotuzzahro’
Durrotul Munimah
Shoimatul Ifah
Siti Rohmatun Ni’mah

I.  Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sempurna, yang dianugerahkan Allah untuk umat Nabi Muhammad. Menyampaikan dan mengajarkan kepada keluarga, kerabat, serta sahabat dan umatnya adalah salah satu cara Nabi dalam berdakwah, baik itu berupa al-Qur’an maupun hadis. Kemudian sahabat menyampaikan kepada tabi’in, tabi’in kepada tabiit tabi’in hingga seterusnya.
Dengan bergulirnya zaman, semakin banyak sekali para ulama-ulama yang ingin menafsirkan atau menjelaskan makna-makna dari al-Qur’an itu sendiri tanpa keluar dan merubah maksud dari al-Qur’an. Sehingga banyak sekali para penafsir-penafsir al-Qur’an yang tersebar dimana-mana. Salah satunya Negara Indonesia, juga banyak sekali para penafsir al-Qur’an yang terlahir di Indonesia ini. Akan tetapi, tak sedikit juga penyebaran Islam ke Indonesia ini dilakukan oleh penyebar-penyebar Islam, baik dari Gujarat, Persia, maupun Arab. Mereka telah memberikan corak budaya yang kuat bagi Islam yang berkembang di Indonesia.
Dalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan tafsir al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīz karya Bishrī Muṣṭofā yang meliputi biografi Bishrī Muṣṭofā, sejarah penulisan tafsir, metode penulisan tafsir, dan contoh-contoh penafsiran dalam kitab al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīz.
II.    Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr Al-Qur’an al-‘Azīz
A.    Biografi Mufassir
Bishrī Muṣṭofā lahir di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915. Awalnya namanya adalah Mashadi, tetapi namanya diganti dengan Bishrī Muṣṭofā setelah ia menunaikan haji pada tahun 1923. Ia merupakan putra dari Zainal dan Chotijah. Ia merupakan orang yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa.[1]
Bishrī Musṭofa memperoleh dasar-dasar pendidikan dimulai dari orangtuanya, dan menjadi siswa di sekolah ongko loro (sekolah yang waktu itu tingkatannya sangat rendah, dan dikhususkan untuk rakyat pribumi jelata). Setelah lulus dari ongko loro ia nyantri di pesantren Kajen untuk pasanan[2] yang diasuh kyai Chasbullah, tapi hanya tiga hari karena ia tidak betah. Kemudian ia melanjutkan ke pesantren Kasingan Rembang yang di asuh olek Kyai Cholil, di sana ia belajar ilmu nahwu dengan kitab alfiyah sebagai pegangan utama. Selain itu ia juga sering nyantri pasanan di pesantren Tebuireng, Jombang asuhan KH. Hasyim Ash’ari. Ia juga belajar  kepada Kyai Bakir, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Ḥasan Mashshath, Kyai Muhaimin, dan Syaikh Umar Ḥamdan al-Maghribi di Mekkah pada tahun 1936.
Bishrī dikenal sebagai ulama yang demokratis dan mau bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan. Ia juga dikenal sebagai sosok ulama yang moderat, selain itu Bishrī juga merupakan pejuang yang gigih sejak era penjajahan Belanda dan Jepang. Ia juga merupakan seorang negosiator dan orator andal, hal ini karena dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Ia meninggal pada hari Rabu, 17 Februari 1977/ 27 Shafar 1397 H, waktu Ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.[3]
B.     Sejarah Penulisan Tafsir
Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz yang lebih dikenal dengan sebutan tafsir al-Ibriz merupakan tafsir berbahasa Jawa dengan huruf arab pegon karangan Bishrī Musṭofa. Bishrī Musṭofa mengarang tafsirnya dengan bahasa jawa tidaklah tanpa sebab, ia juga tahu bahwasannya al-Qur’an sudah banyak diterjemahkan bahkan ditafsirkan oleh para ahli ke dalam berbagai bahasa, ada bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Indonesia dan lain-lain. Bahkan ada yang menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda dan lain-lain. Dari terjemah itulah, umat Islam dari berbagai bangsa dan suku-suku banyak yang bisa mengerti makna dan artinya.[4] Hal ini sesuai yang di ungkapkan oleh Bisri Musṭofa dalam muqaddimah-nya yang berbahasa Jawa.
Selain ditulis menggunakan bahasa Jawa, kitab ini juga dilengkapi dengan makna setiap kata di dalam ayat al-Qur’an yang ditulis dengan model menggantung, dalam istilah pesantren disebut “makna gandul”. Hal ini bertujuan untuk memudahkan para pengkaji tafsir ini.
Dengan latar belakang tersebut, Bishrī Musṭofa ingin menyebarkan agama Islam dengan mengarang kitab tafsir yang ditulis dengan bahasa Jawa agar mudah difahami oleh orang-orang Jawa. Supaya orang-orang Jawa dapat mudah memahami tafsir karangannya ini. Tafsir ini juga merupakan tafsir yang singkat dan mudah dicerna dengan harapan mudah difahami oleh pembaca baik dari kalangan santri maupun masyarakat awam.
C.    Metode Penafsiran
Dalam penafsirannya secara umum, Bishrī Muṣṭofa menggunakan tiga metode yaitu bi al-ra’yi, bi al-ma’thūr dan muqarin. Bishrī menggunakan tiga metode karena akan sangat sulit untuk hanya menggunakan satu metode saja secara utuh. Karena terdapat ayat-ayat yang perlu asbab al-nuzul, maupun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut, yang dalam hal ini membutuhkan metode bi al-ma’thūr. Ada juga ayat yang di dalamnya menjelaskan makna yang membutuhkan penalaran atau disebut tafsir bil-ra’yi. Ada pula ayat-ayat yang hanya bisa dipahami secara menyeluruh jika dikomparasikan dengan ayat-ayat lain dan juga dengan hadis yang disebut metode muqārin.
Metode bil-ra’yi merupakan metode yang paling banyak digunakan di dalam tafsir al-Ibrīz. Sebagaimana contoh:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ[5]
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. (QS. al-Baqarah: 173).

Jika dipahami secara lahiriyah saja, maka ayat diatas memunculkan pemahaman bahwa yang diharamkan hanya tiga saja yaitu bangkai, darah, dan babi. Oleh karena itu, untuk memahami ayat tersebut selain harus dicarikan hadis atau riwayat yang berkaitan dengan ayat tersebut, menurut Bishrī juga harus didekati dengan pendekatan ijtihad yang dalam hal ini membutuhkan peran ra’yu atau akal.
Kemudian bi al-ma’thur juga metode yang banyak digunakan, karena pada kenyataannya pada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipahami itu akan menimbulkan pemahaman yang salah tanpa diketahui riwayat yang berkaitan dengan ayat tersebut. Seperti contoh dalam surat al-Baqarah ini:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ[6]

     Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Sesungguhnya Allah maha luas (rahmat-Nya) lagi maha mengetahui.

Seperti ayat 115 dalam surat al-Baqarah ini kalau kita tidak mengetahui riwayat yang benar, maka sholat menghadap arah mana saja itu boleh.

Ada yang unik dari metode tafsir yang digunakan oleh Bishrī, sebagaimana yang diungkapkan dam muqaddimah, yaitu:
1.      Ayat al-Qur’an ditulis di tengah diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa.
2.      Terjemah tafsir ditulis di bagian pinggir.
3.      Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faedah, muhimmah dan lain-lain.[7]
D.    Contoh-Contoh Penafsiran dalam Kitab Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr Al-Qur’an al-‘Azīz
a.      Penafsiran terhadap huruf muqaṭṭa’ah[8]
Dalam menafsirkan huruf-huruf muqaṭṭa’ah, Bishrī tidak menafsirkannya kecuali hanya Allah yang tahu. Hal ini dapat diketahui saat ia menafsiri الم dalam surat al-Baqarah yang menyatakan bahwasannya الم dan juga huruf-huruf yang menjadi permulaan surat seperti ق-ن-ص dan lain-lain itu tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, pendapat ini menurut ulama salaf. Akan tetapi ada ulama lain yang berpendapat alif itu maknanya Allah, lam maknanya laṭif dan mim maknanya majid. Jadi الم adalah suatu rumus yang artinya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā maha pengasih dan maha agung.
Ada ulama lain yang berpendapat bahwasannya الم merupakan awal perkataan supaya mendapat peehatian manusia. Hal ini diibaratkan seperti ketika akan diadakan rapat ketika orang-orang sudah hadir semua biasanya mereka berbincang-bincang sendiri. Apabila pimpinan rapat tiba-tiba berpidato pasti tidak dapat perhatian orang-orang yang hadir, tetapi jika pimpinan rapat sebelum memulai pembicaraan mengetuk meja terlebih dahulu, biasanya orang-orang yang hadir akan memerhatikan. Setelah orang-orang yang hadir memperhatikan, baru ketua rapat memulai pidato. Sebagaimana juga الم, ketika orang-orang sedang sibuk, tiba-tiba mendengar suara yang tidak diketahui yakni الم lalu mereka semua akan memerhatikan. Setelah itu barulah diberitahu ذلك الكتاب الخ....[9]
b.      Penafsiran terhadap ayat-ayat poligami
Contoh penafsiran Bishrī terhadap ayat poligami sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nisā’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)[10]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka (menikahilah) wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (menikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS.Al-Nisa’: 3).
Bishrī menafsirkan seperti ini:
    Wong-wong Islam ing zaman awal, yen ana kang ngerumat yatimah ing mangka kabeneran ora mahram (anak dulur upamane) iku akeh-akehe nuli dikawin pisan. Nalika iku nganti kedadeyan ana kang ndue bojo wolu utawa sepuluh. Bareng ayat nomer loro mahu tumurun , wong-wong mahu nuli pada kuatir yen ora bisa adil, nuli akeh kang pada sumpek, nuli Allah Subḥānahu wa Ta’ālā nurunake ayat kang nomer telu iki, kang surasane: yen sira kabeh kuatir ora bisa adil ana ing antarane yatim-yatim kang sira rumat, iya wayoh loro-loro bahe, utawa telu-telu bahe utawa papat-papat, saking wadon-wadon kang sira senengi, ojo nganti punjul sangking papat. Lamun sira kabeh kuatir ora bisa adil nafaqah lan gilir, mangka nikaha siji bahe, utawa terima ngalap cukup jariyah kang sira miliki, nikah papat utawa siji, utawa ngalap cukup jariyah iku sejatine luwih menjamin keadilan (ora mlempeng).
     Orang-orang Islam zaman awal, ketika merawat anak yatim perempuan yang kebetulan bukan mahram (seumpama anak saudara) kebanyakan dinikahi juga. Ketika itu sampai ada peristiwa ada yang mempunyai isteri delapan atau sepuluh. Ketika ayat nomer dua turun (maksudnya surat al-Nisā’ ayat kedua), orang-orang tadi lalu khawatir tidak bisa berbuat adil, lalu banyak yang galau. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menurunkan ayat nomer tiga (surat al-Nisā’ ayat ketiga) yang isinya: ketika kalian semu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang kalian pelihara, maka nikahilah dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat wanita-wanita yang kamu senangi, jangan sampai lebih dari empat. Ketika kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil dalam hal nafaqah dan menggilir, maka nikahilah satu wanita saja, atau merasa cukup dengan jariyah yang kamu miliki, menikah empat atau satu, atau merasa cukup jariyah itu sebenarnya lebih menjamin keadilan.  
c.       Penafsiran terhadap lafal min nafsin wahidin
Contoh penafsiran Bishrī dalam menafsirkan lafal min nafsin wahidin sebagimana yang terdapat dalam surat al-Nisā’ ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)[11]
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. Al-Nisā’: 1).
Bishrī menafsirkan seperti ini:
Hai iling-iling para menusha khususe ahli makkah, umume menusha kabeh. Sira kabeh padaha taqwa marang pengeran kang hanitahaken sira kabeh saking wong siji iya iku Adam, lan nitahake garwane (ibu Hawa’) uga saking nabi Adam, lan nuli saking Adam Hawa’ Allah ta’ala nitahake menusha akeh banget lanang lan wadon. Lan pada wediha marang Allah kang asmane tansah sira anggo sumpah, lan padaha anjaga sana’, ojo nganti pedot. Sa’temene Allah ta’ala iku tansah nginjen-nginjen amal ira kabeh.
    Hai sekalian manusia, khususnya ahli makkah, umumnya semua manusia. Bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kalian semua dari manusia yang satu yaitu nabi Adam, dan menciptakan istrinya (Hawa’) juga dari nabi Adam, dan dari Adan dan Hawa’ Allah menciptakan manusia yang sangat banyak laki-laki dan perempuan. Dan takutlah kalian semua pada Allah yang namanya selalu kamu gunakan untuk sumpah, dan saling  menjagalah terhadap saudara, jangan sampai putus. Sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sealu menghitung-hitung amal kalian semua. 
III.     Kesimpulan
Bishrī Muṣṭofā lahir di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915. Awalnya namanya adalah Mashadi, tetapi namanya diganti dengan Bishrī Muṣṭofā setelah ia menunaikan haji pada tahun 1923. Ia merupakan putra dari Zainal dan Chotijah. Ia merupakan orang yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Bishrī meninggal pada hari Rabu, 17 Februari 1977/ 27 Shafar 1397 H, waktu Ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.
Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz yang lebih dikenal dengan sebutan tafsir al-Ibriz merupakan tafsir berbahasa Jawa dengan huruf arab pegon karangan Bishrī Musṭofa. Bishrī Musṭofa mengarang tafsirnya dengan bahasa jawa tidaklah tanpa sebab, ia juga tahu bahwasannya al-Qur’an sudah banyak diterjemahkan bahkan ditafsirkan oleh para ahli ke dalam berbagai bahasa. Dari terjemah itulah, umat Islam dari berbagai bangsa dan suku-suku banyak yang bisa mengerti makna dan artinya.
Selain ditulis menggunakan bahasa Jawa, kitab ini juga dilengkapi dengan makna setiap kata di dalam ayat al-Qur’an yang ditulis dengan model menggantung, dalam istilah pesantren disebut “makna gandul”. Dalam penafsirannya secara umum, Bishrī Muṣṭofa menggunakan tiga metode yaitu bi al-ra’yi, bi al-ma’thūr dan muqarin. Adapun metode bil-ra’yi merupakan metode yang paling banyak digunakan di dalam tafsir al-Ibrīz.
Terdapat beberapa poin yang menjadi titik kajian dalam makalah ini, di antaranya penafsiran Bishrī terhadap huruf-huruf muqaṭṭa’ah, ayat poligami, dan lafal min nafsin wahidin dengan pemaparannya yang menggunakan metode-metode tafsir.







Daftar Pustaka
Al-Qur’an
      Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.
       Musṭofa, Bishrī. Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz. Kudus: Maktabah wa Maṭba’ah Menara Kudus. tth.



[1] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), 168.
[2] Nyantri pada bulan puasa.
[3] Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, 170-171.
[4] Bishri Musṭofa, Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, (Kudus: Maktabah wa Maṭba’ah Menara Kudus, tth), 2. 
[5] Al-Qur’an, 2:173.
[6] Al-Qur’an, 2:115
[7] Bishri Musṭofa, Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, 2.
[8] Huruf muqaṭṭa’ah adalah huruf hijaiyyah yang digunakan dalam permulaan surat seperti الم, الر, عسق dan lain-lain.
[9] Bishri Musṭofa, Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, 4.
[10] Al-Qur’an, 4:3.
[11] Al-Qur’an, 4:1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar