TAFSIR AL-IBRĪZ LIMA’RIFATI TAFSĪR AL-QUR’AN AL- ‘AZĪZ KARYA BISHRĪ
MUṢṬOFĀ
Makalah
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah
Perkembangan Tafsir di Indonesia
DosenPengampu:
Moh. Ashif, MUd
Oleh:
Azzah Nurin
Taufiqotuz Zahro’
Durrotul
Munimah
Shoimatul Iffah
Siti Rohmatun
Ni’mah
PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
TAFSIR AL-IBRĪZ
LI MA’RIFATI TAFSĪR AL-QUR’AN AL- ‘AZĪZ KARYA BISHRĪ MUṢṬOFĀ
Oleh:
Azzah Nurin
Taufiqotuzzahro’
Durrotul
Munimah
Shoimatul Ifah
Siti Rohmatun
Ni’mah
I.
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sempurna,
yang dianugerahkan Allah untuk umat Nabi Muhammad. Menyampaikan dan mengajarkan
kepada keluarga, kerabat, serta sahabat dan umatnya adalah salah satu cara Nabi
dalam berdakwah, baik itu berupa al-Qur’an maupun hadis. Kemudian sahabat
menyampaikan kepada tabi’in, tabi’in kepada tabiit tabi’in
hingga seterusnya.
Dengan bergulirnya zaman, semakin
banyak sekali para ulama-ulama yang ingin menafsirkan atau menjelaskan
makna-makna dari al-Qur’an itu sendiri tanpa keluar dan merubah maksud dari al-Qur’an.
Sehingga banyak sekali para penafsir-penafsir al-Qur’an yang tersebar
dimana-mana. Salah satunya Negara Indonesia, juga banyak sekali para penafsir al-Qur’an
yang terlahir di Indonesia ini. Akan tetapi, tak sedikit juga penyebaran Islam
ke Indonesia ini dilakukan oleh penyebar-penyebar Islam, baik dari Gujarat,
Persia, maupun Arab. Mereka telah memberikan corak budaya yang kuat bagi Islam
yang berkembang di Indonesia.
Dalam makalah ini, penulis ingin
menjelaskan tafsir al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīz
karya Bishrī Muṣṭofā yang meliputi biografi Bishrī Muṣṭofā, sejarah penulisan
tafsir, metode penulisan tafsir, dan contoh-contoh penafsiran dalam kitab al-Ibrīz
li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīz.
II.
Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr Al-Qur’an al-‘Azīz
A.
Biografi Mufassir
Bishrī Muṣṭofā lahir di kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada
tahun 1915. Awalnya namanya adalah Mashadi, tetapi namanya diganti dengan
Bishrī Muṣṭofā setelah ia menunaikan haji pada tahun 1923. Ia merupakan putra
dari Zainal dan Chotijah. Ia merupakan orang yang mempunyai kecerdasan yang
luar biasa.[1]
Bishrī Musṭofa memperoleh dasar-dasar pendidikan dimulai dari
orangtuanya, dan menjadi siswa di sekolah ongko loro (sekolah yang waktu
itu tingkatannya sangat rendah, dan dikhususkan untuk rakyat pribumi jelata).
Setelah lulus dari ongko loro ia nyantri di pesantren Kajen untuk
pasanan[2]
yang diasuh kyai Chasbullah, tapi hanya tiga hari karena ia tidak betah.
Kemudian ia melanjutkan ke pesantren Kasingan Rembang yang di asuh olek Kyai
Cholil, di sana ia belajar ilmu nahwu dengan kitab alfiyah sebagai
pegangan utama. Selain itu ia juga sering nyantri pasanan di pesantren
Tebuireng, Jombang asuhan KH. Hasyim Ash’ari. Ia juga belajar kepada Kyai Bakir, Syaikh Maliki, Sayyid
Amin, Syaikh Ḥasan Mashshath, Kyai Muhaimin, dan Syaikh Umar Ḥamdan al-Maghribi
di Mekkah pada tahun 1936.
Bishrī dikenal sebagai ulama yang demokratis dan mau bergaul dengan
berbagai lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan. Ia juga dikenal sebagai
sosok ulama yang moderat, selain itu Bishrī juga merupakan pejuang yang gigih
sejak era penjajahan Belanda dan Jepang. Ia juga merupakan seorang negosiator
dan orator andal, hal ini karena dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi
juru kampanye andalan dari partainya. Ia meninggal pada hari Rabu, 17 Februari
1977/ 27 Shafar 1397 H, waktu Ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang akibat
serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru.[3]
B.
Sejarah Penulisan Tafsir
Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz yang
lebih dikenal dengan sebutan tafsir al-Ibriz merupakan tafsir berbahasa Jawa
dengan huruf arab pegon karangan Bishrī Musṭofa. Bishrī Musṭofa mengarang
tafsirnya dengan bahasa jawa tidaklah tanpa sebab, ia juga tahu bahwasannya al-Qur’an
sudah banyak diterjemahkan bahkan ditafsirkan oleh para ahli ke dalam berbagai
bahasa, ada bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Indonesia dan lain-lain. Bahkan ada
yang menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda dan lain-lain. Dari
terjemah itulah, umat Islam dari berbagai bangsa dan suku-suku banyak yang bisa
mengerti makna dan artinya.[4]
Hal ini sesuai yang di ungkapkan oleh Bisri Musṭofa dalam muqaddimah-nya
yang berbahasa Jawa.
Selain ditulis menggunakan bahasa Jawa, kitab ini juga dilengkapi
dengan makna setiap kata di dalam ayat al-Qur’an yang ditulis dengan model
menggantung, dalam istilah pesantren disebut “makna gandul”. Hal ini bertujuan
untuk memudahkan para pengkaji tafsir ini.
Dengan latar belakang tersebut, Bishrī Musṭofa ingin menyebarkan
agama Islam dengan mengarang kitab tafsir yang ditulis dengan bahasa Jawa agar
mudah difahami oleh orang-orang Jawa. Supaya orang-orang Jawa dapat mudah
memahami tafsir karangannya ini. Tafsir ini juga merupakan tafsir yang singkat
dan mudah dicerna dengan harapan mudah difahami oleh pembaca baik dari kalangan
santri maupun masyarakat awam.
C.
Metode Penafsiran
Dalam penafsirannya secara umum, Bishrī
Muṣṭofa menggunakan tiga metode yaitu bi al-ra’yi, bi al-ma’thūr
dan muqarin. Bishrī menggunakan tiga metode karena akan sangat sulit
untuk hanya menggunakan satu metode saja secara utuh. Karena terdapat ayat-ayat
yang perlu asbab al-nuzul, maupun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan
ayat-ayat tersebut, yang dalam hal ini membutuhkan metode bi al-ma’thūr.
Ada juga ayat yang di dalamnya menjelaskan makna yang membutuhkan penalaran
atau disebut tafsir bil-ra’yi. Ada pula ayat-ayat yang hanya bisa
dipahami secara menyeluruh jika dikomparasikan dengan ayat-ayat lain dan juga
dengan hadis yang disebut metode muqārin.
Metode bil-ra’yi merupakan metode yang paling banyak
digunakan di dalam tafsir al-Ibrīz. Sebagaimana contoh:
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ[5]
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun
lagi maha penyayang. (QS. al-Baqarah: 173).
Jika dipahami secara lahiriyah saja, maka ayat diatas memunculkan
pemahaman bahwa yang diharamkan hanya tiga saja yaitu bangkai, darah, dan babi.
Oleh karena itu, untuk memahami ayat tersebut selain harus dicarikan hadis atau
riwayat yang berkaitan dengan ayat tersebut, menurut Bishrī juga harus didekati
dengan pendekatan ijtihad yang dalam hal ini membutuhkan peran ra’yu
atau akal.
Kemudian bi al-ma’thur juga metode yang banyak digunakan,
karena pada kenyataannya pada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipahami itu
akan menimbulkan pemahaman yang salah tanpa diketahui riwayat yang berkaitan
dengan ayat tersebut. Seperti contoh dalam surat al-Baqarah ini:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ[6]
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Sesungguhnya Allah
maha luas (rahmat-Nya) lagi maha mengetahui.
Seperti ayat 115 dalam surat al-Baqarah ini kalau kita tidak
mengetahui riwayat yang benar, maka sholat menghadap arah mana saja itu boleh.
Ada yang unik dari metode tafsir yang digunakan oleh Bishrī, sebagaimana
yang diungkapkan dam muqaddimah, yaitu:
1.
Ayat
al-Qur’an ditulis di tengah diberi makna gandul atau jebres khas
pesantren-pesantren di wilayah Jawa.
2.
Terjemah
tafsir ditulis di bagian pinggir.
3.
Keterangan-keterangan
lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih,
faedah, muhimmah dan lain-lain.[7]
D.
Contoh-Contoh Penafsiran dalam Kitab Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati
Tafsīr Al-Qur’an al-‘Azīz
a. Penafsiran terhadap huruf muqaṭṭa’ah[8]
Dalam menafsirkan huruf-huruf muqaṭṭa’ah, Bishrī tidak
menafsirkannya kecuali hanya Allah
yang tahu. Hal ini dapat diketahui saat ia menafsiri الم
dalam surat al-Baqarah yang menyatakan bahwasannya الم
dan juga huruf-huruf yang menjadi permulaan surat seperti ق-ن-ص dan lain-lain itu tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā, pendapat ini menurut ulama salaf. Akan tetapi ada ulama lain yang
berpendapat alif itu maknanya Allah, lam maknanya laṭif dan mim maknanya majid.
Jadi الم adalah suatu rumus yang artinya
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā maha pengasih dan maha agung.
Ada ulama lain yang berpendapat bahwasannya الم merupakan awal perkataan supaya
mendapat peehatian manusia. Hal ini diibaratkan seperti ketika akan diadakan
rapat ketika orang-orang sudah hadir semua biasanya mereka berbincang-bincang
sendiri. Apabila pimpinan rapat tiba-tiba berpidato pasti tidak dapat perhatian
orang-orang yang hadir, tetapi jika pimpinan rapat sebelum memulai pembicaraan
mengetuk meja terlebih dahulu, biasanya orang-orang yang hadir akan
memerhatikan. Setelah orang-orang yang hadir memperhatikan, baru ketua rapat
memulai pidato. Sebagaimana juga الم, ketika orang-orang sedang sibuk, tiba-tiba mendengar
suara yang tidak diketahui yakni الم lalu mereka semua akan memerhatikan. Setelah itu
barulah diberitahu ذلك الكتاب الخ....[9]
b. Penafsiran terhadap ayat-ayat
poligami
Contoh penafsiran Bishrī terhadap ayat poligami sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Nisā’ ayat 3:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)[10]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
(menikahilah) wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (menikahilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya. (QS.Al-Nisa’: 3).
Bishrī menafsirkan seperti ini:
Wong-wong Islam ing zaman awal,
yen ana kang ngerumat yatimah ing mangka kabeneran ora mahram (anak dulur
upamane) iku akeh-akehe nuli dikawin pisan. Nalika iku nganti kedadeyan ana
kang ndue bojo wolu utawa sepuluh. Bareng ayat nomer loro mahu tumurun ,
wong-wong mahu nuli pada kuatir yen ora bisa adil, nuli akeh kang pada sumpek,
nuli Allah Subḥānahu wa Ta’ālā nurunake ayat kang nomer telu iki, kang surasane: yen
sira kabeh kuatir ora bisa adil ana ing antarane yatim-yatim kang sira rumat,
iya wayoh loro-loro bahe, utawa telu-telu bahe utawa papat-papat, saking
wadon-wadon kang sira senengi, ojo nganti punjul sangking papat. Lamun sira
kabeh kuatir ora bisa adil nafaqah lan gilir, mangka nikaha siji bahe, utawa
terima ngalap cukup jariyah kang sira miliki, nikah papat utawa siji, utawa
ngalap cukup jariyah iku sejatine luwih menjamin keadilan (ora mlempeng).
Orang-orang Islam zaman awal,
ketika merawat anak yatim perempuan yang kebetulan bukan mahram (seumpama anak
saudara) kebanyakan dinikahi juga. Ketika itu sampai ada peristiwa ada yang
mempunyai isteri delapan atau sepuluh. Ketika ayat nomer dua turun (maksudnya
surat al-Nisā’ ayat kedua), orang-orang tadi lalu khawatir tidak bisa berbuat
adil, lalu banyak yang galau. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menurunkan ayat nomer tiga (surat al-Nisā’ ayat ketiga)
yang isinya: ketika kalian semu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap
anak-anak yatim yang kalian pelihara, maka nikahilah dua-dua, tiga-tiga, atau
empat-empat wanita-wanita yang kamu senangi, jangan sampai lebih dari empat.
Ketika kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil dalam hal nafaqah dan
menggilir, maka nikahilah satu wanita saja, atau merasa cukup dengan jariyah
yang kamu miliki, menikah empat atau satu, atau merasa cukup jariyah itu
sebenarnya lebih menjamin keadilan.
c. Penafsiran terhadap lafal min
nafsin wahidin
Contoh penafsiran Bishrī dalam menafsirkan lafal min nafsin
wahidin sebagimana yang terdapat dalam surat al-Nisā’ ayat 1:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)[11]
Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
(QS. Al-Nisā’: 1).
Bishrī menafsirkan seperti ini:
Hai iling-iling para menusha
khususe ahli makkah, umume menusha kabeh. Sira kabeh padaha taqwa marang
pengeran kang hanitahaken sira kabeh saking wong siji iya iku Adam, lan
nitahake garwane (ibu Hawa’) uga saking nabi Adam, lan nuli saking Adam Hawa’
Allah ta’ala nitahake menusha akeh banget lanang lan wadon. Lan pada wediha
marang Allah kang asmane tansah sira anggo sumpah, lan padaha anjaga sana’, ojo
nganti pedot. Sa’temene Allah ta’ala iku tansah nginjen-nginjen amal ira kabeh.
Hai sekalian
manusia, khususnya ahli makkah, umumnya semua manusia. Bertaqwalah kepada
tuhanmu yang telah menciptakan kalian semua dari manusia yang satu yaitu nabi
Adam, dan menciptakan istrinya (Hawa’) juga dari nabi Adam, dan dari Adan dan
Hawa’ Allah menciptakan manusia yang sangat banyak laki-laki dan perempuan. Dan
takutlah kalian semua pada Allah yang namanya selalu kamu gunakan untuk sumpah,
dan saling menjagalah terhadap saudara,
jangan sampai putus. Sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sealu menghitung-hitung amal kalian semua.
III.
Kesimpulan
Bishrī Muṣṭofā lahir di kampung
Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915. Awalnya namanya adalah Mashadi,
tetapi namanya diganti dengan Bishrī Muṣṭofā setelah ia menunaikan haji pada
tahun 1923. Ia merupakan putra dari Zainal dan Chotijah. Ia merupakan orang
yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Bishrī meninggal pada hari Rabu, 17
Februari 1977/ 27 Shafar 1397 H, waktu Ashar di Rumah Sakit Dr. Karyadi
Semarang akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada
paru-paru.
Tafsir Al-Ibrīz li Ma’rifati
Tafsīr al-Qur’an al-Azīz yang lebih dikenal dengan sebutan tafsir al-Ibriz
merupakan tafsir berbahasa Jawa dengan huruf arab pegon karangan Bishrī Musṭofa.
Bishrī Musṭofa mengarang tafsirnya dengan bahasa jawa tidaklah tanpa sebab, ia
juga tahu bahwasannya al-Qur’an sudah banyak diterjemahkan bahkan ditafsirkan
oleh para ahli ke dalam berbagai bahasa. Dari terjemah itulah, umat Islam dari
berbagai bangsa dan suku-suku banyak yang bisa mengerti makna dan artinya.
Selain ditulis menggunakan bahasa
Jawa, kitab ini juga dilengkapi dengan makna setiap kata di dalam ayat
al-Qur’an yang ditulis dengan model menggantung, dalam istilah pesantren
disebut “makna gandul”. Dalam penafsirannya secara umum, Bishrī
Muṣṭofa menggunakan tiga metode yaitu bi al-ra’yi, bi al-ma’thūr
dan muqarin. Adapun metode bil-ra’yi merupakan metode yang paling
banyak digunakan di dalam tafsir al-Ibrīz.
Terdapat beberapa poin yang menjadi
titik kajian dalam makalah ini, di antaranya penafsiran Bishrī terhadap huruf-huruf
muqaṭṭa’ah, ayat poligami, dan lafal min nafsin wahidin dengan pemaparannya yang menggunakan metode-metode tafsir.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik
Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2013.
Musṭofa, Bishrī. Al-Ibrīz
li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz. Kudus: Maktabah wa Maṭba’ah Menara
Kudus. tth.
[1] Saiful Amin
Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), 168.
[2] Nyantri pada
bulan puasa.
[3] Saiful Amin
Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,
170-171.
[4] Bishri Musṭofa,
Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, (Kudus: Maktabah wa Maṭba’ah
Menara Kudus, tth), 2.
[5] Al-Qur’an,
2:173.
[6] Al-Qur’an,
2:115
[7] Bishri Musṭofa,
Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an al-Azīz, 2.
[8] Huruf muqaṭṭa’ah adalah huruf hijaiyyah yang digunakan dalam
permulaan surat seperti الم, الر, عسق dan lain-lain.
[9] Bishri Musṭofa, Al-Ibrīz li Ma’rifati Tafsīr al-Qur’an
al-Azīz, 4.
[10] Al-Qur’an,
4:3.
[11] Al-Qur’an,
4:1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar